RINGKASAN KU (1)

Bagian ini merupakan bagian ketiga, suatu bagian praktis yang dirangkai oleh Paulus secara relasional. Minggu lalu kita membahas tentang bagaimana iman Kristen yang seharusnya tidak berhenti dalam suatu teori yang mati atau dalam perdebatan teologis, melainkan harus teraplikasi di dalam kehidupan.
Kita juga telah membahas karakter-karakter dasar (yakni rendah hati, lemah lembut, sabar dan mengasihi) yang harus mendasari pergumulan iman kita, dimana kita tidak terjebak dalam close system. Orang yang berada di dalam close system sering mengatakan, "Saya orangnya memang seperti begini." Dengan demikian dia tidak mau berubah dan tidak mau bertumbuh maka dia sebenarnya sedang mematikan kemungkinan proses perubahan. Berarti dia sebenarnya sudah mati di saat dia hidup. Karena bukankah yang hidup harus berproses?
Sekarang kita akan melihat bahwa ketika kita mau berproses, bertumbuh dan menjadi seorang Kristen yang baik, kita harus bersatu, menggalang kesatuan di dalam Roh. Di sini suasana paradoks muncul (bahkan mungkin lebih mendekati kontradiksi daripada sekedar paradoks). Kita ingin untuk bersatu, tetapi betulkah kita ingin bersatu? Jika kita mau jujur, siap hatikah kita untuk bersatu? Mungkin jawabannya adalah tidak. Apa sebab? Karena ada ambivalensi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia. Jika hal ini terjadi di luar Kekristenan itu adalah wajar, tetapi sayangnya inipun sudah meracuni Kekristenan juga. Persatuan versi dunia hanyalah suatu slogan, sekedar ucapan bibir yang tidak ada isinya. Maka sangatlah naif jika hanya mau mengerti persatuan ini secara dangkal dan dipermukaannya saja.
Persatuan yang sejati adalah persatuan yang diungkapkan oleh Efesus 4 ini. Tetapi ketika kita mau masuk ke dalam persatuan ini, kita harus menyadari kendala-kendala yang ada. Bagaimana Kekristenan bisa menjadi contoh di tengah-tengah dunia berkenaan dengan persatuan yang sejati ini? Apakah Kekristenan menggarap persekutuan dengan baik? Ini sungguh-sungguh perlu dijawab! Keesaan seringkali hanya merupakan format federasi (yang mendasarkan diri pada azaz manfaat dalam berelasi) yang sama sekali tidak menggarap persatuan yang sebenarnya. Maka, sekarang kita harus melihat dua aspek yang sangat penting yakni: 1) Urgensi dari kesatuan itu sendiri, dan 2) Bagaimana kendala bagi keurgensian dari kesatuan ini.
1. Urgensi Kesatuan
Dalam Efesus 4, Paulus menempatkan kesatuan di tempat pertama. Tuntutan ini sedemikian serius oleh karena kesatuan di dalam Kekristenan merupakan dasar dimana Kekristenan bisa hidup. Pada hakekatnya, Kekristenan disebut sebagai "One Body - Satu Tubuh". Konsep kesatuan ini sulit diterima oleh manusia yang telah ‘dicekoki’ oleh konsep dunia.
Alkitab jelas menyatakan bahwa semua orang Kristen adalah satu tubuh dimana Kristus adalah Kepalanya. Satu tubuh mempunyai keterkaitan, dan tidak bisa dilepas-lepaskan. Satu tubuh berbeda dengan satu struktur organisasi. Inilah kesatuan yang unik.
Kekristenan di semua tempat selalu menjadi ancaman atau menjadi "musuh" (seharusnya dalam aspek positif) bagi banyak pikiran dunia. Disaat Kekristenan mau menyatakan terang dan dunia berjalan dalam gelap, saat itulah terjadi konflik. Kesulitan inilah yang selalu muncul dalam kehidupan anak-anak Tuhan. Bahkan 2 Timotius 3:12 menyatakan, "Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya." Ini akibat dari cara kerja dunia dan Kekristenan yang saling bertabrakan. Sehingga, ketika kita mau menyatakan kebenaran, di situ kita akan berkonfrontasi dengan dunia. Jika Kekristenan terpecah-pecah, Kekristenan akan sulit bertahan di tengah-tengah dunia ini. Pengkhotbah juga mengungkapkan secara serius tentang pentingnya kesatuan. Inilah urgensi yg pertama yang harus kita pikirkan.
Kedua, kita yang hidup di tengah-tengah dunia di panggil oleh Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia, menjadi saksi. Kita memang bisa menjalankan fungsi ini secara pribadi. Tetapi fungsi kesaksian itu menjadi lebih terang dan lebih nyata pada saat kita bersatu. Dengan kata lain, satu terang yang kecil, jika disatukan dengan terang-terang kecil lainnya akan menjadi terang yang besar. Demikian pula dengan garam.
Kita ada bukanlah untuk diri kita sendiri. Kita ada untuk orang lain, menjadi berkat bagi dunia ini dan menjadi saksi di tengah-tengah dunia ini untuk menyatakan kemuliaan Tuhan. Karena itu, kesatuan bukan sekedar boleh atau tidak boleh dijalankan. Kesatuan adalah sesuatu yang urgen dan mutlak untuk dijalankan.
Ketiga, dalam satu tubuh yang berfungsi, kesatuan merupakan hakekat yang paling mendasar. Berbeda dengan organisasi. Dalam organisasi, jika salah satu bagian macet, bagian itu akan dipotong dan dibuang, dan urusanpun selesai, bagian lain tidak mau tahu dan tidak terkena dampak apa-apa. Ini pulalah yang terjadi di dalam gereja, satu bagian tidak mau tahu dengan bagian-bagian yang lain, dan inilah organisasi di dalam gereja.
Kekristenan mempunyai kesatuan yang unik yang tidak mungkin dijalankan di dalam dunia. Kita mempunyai Kesatuan Organisme yakni satu kesatuan oleh karena kita satu tubuh, yang tidak berelasi secara mati dalam garis otoritas melainkan suatu relasi yang hidup. Jika salah satu bagian tidak beres, seluruh bagian tubuh yang lain akan merasakan secara bersama-sama. Jadi, satu bagian saling terkait dan saling menunjang dengan bagian yang lain. Maka, gereja yang sakit, persekutuan yang sakit dan anak-anak Tuhan yang sakit adalah akibat gagal mengerti konsep kesatuan ini.
Kesatuan tubuh semacam ini tidak mungkin digalang di luar Kekristenan. Apa sebab? Karena ada satu dasar yang mengikat kesatuan yakni sifat kasih yang dari Tuhan. Kasihlah yang memungkinkan keterkaitan ini.
2. Kendala bagi keurgensian kesatuan.
Menggalang kesatuan tidaklah sederhana oleh karena: 1) Manusia diterpa oleh filsafat pragmatisme. Mereka tidak mau direpotkan dengan pemikiran yang ruwet, melainkan hanya mau memikirkan yang praktis-praktis saja. Jika sifat pragmatis ini mempengaruhi pola pelayanan seseorang di dalam gereja, maka betapa celakanya hal itu bagi Kekristenan.
2) Ancaman pragmatis akan disertai dengan jiwa individualistik. Globalisme tidak menjadikan dunia semakin bersatu tetapi justru membuat manusia semakin memikirkan dirinya sendiri dan tidak mau tahu orang lain. Kehidupan di desa seringkali kontras dengan keadaan ini oleh karena kehidupan mereka kebanyakan bisa berelasi dengan begitu dekat dan saling bantu dalam berbagai permasalahan yang ada. Sementara kehidupan di kota kondisinya terbalik.
Jika jiwa individualistik ini meracuni kita, bagaimana kita bisa mengerti dan mempunyai kepekaan untuk memperhatikan orang lain? Bagaimana kelemahlembutan, kerendahan hati dan kesabaran kita bisa muncul? Semangat individualistik ini menyebabkan kita tidak mau tahu urusan orang lain. Kita hanya mau tahu jika itu berkenaan atau berkaitan dengan keuntungan diri sendiri.
3) Semangat perseteruan. Setan selalu berusaha agar jiwa pertikaian ini ada di dalam diri setiap manusia. Sementara dunia yang semakin beragam tanpa adanya kontrol yang mempersatukan, mengakibatkan banyak orang ingin secara individualis menjadi raja kecil, maka semangat pertikaian akan berkobar.
Di dalam diri orang yang berdosa selalu terdapat jiwa yang ingin menghancurkan dan tidak suka melihat orang lain menjadi yang terbaik. Orang lain pun akan dianggap sebagai musuh. Maka, tidaklah heran jika kesatuan itu tidak bisa terwujud. Sangatlah menyedihkan jika inipun berada di kalangan orang-orang Kristen. Karena orang Kristen tidak kebal terhadap serangan ini. Oleh karena itu, kita harus menggarap kesatuan kasih, yang berdasarkan kasih Tuhan.
4) Benturan antar karakter pribadi. Seseorang sulit bersatu dengan orang lain karena karakter orang tersebut bertentangan dengan karakternya sendiri. Mereka tidak mau saling mengalah dan tidak mau berubah. Akibatnya benturan pun terjadi.
Pertikaian yang terjadi oleh karena sesuatu yang sangat prinsip masih bisa diterima tetapi jika hanya karena sesuatu yang sangat sepele seperti tidak menyukai karakter atau kebiasaan seseorang mengakibatkan pertikaian itu terjadi, maka ini sangat disayangkan. Seringkali ini muncul karena kita sendiri menganggap diri kita "memang sudah begitu", dan tidak mau berubah. Padahal kita seharusnya senantiasa hidup berproses dan mengalami perubahan demi perubahan. Inilah poin terakhir dari kendala bagi keurgensian kesatuan.
Akhirnya, kita bersatu bukanlah sekedar bersatu. Kita bersatu oleh karena ada tuntutan dari Tuhan. Kesatuan di dalam Roh, kesatuan tubuh, dimana Kristus menjadi kepalanya. Dunia yang sebagian besar abnormal menganggap diri normal, sedangkan yang normal justru dianggap abnormal. Untuk itu kita seharusnya mengerti mana yang pada hakekatnya normal dan abnormal. Normalitas Kekristenan adalah jika kita bertumbuh terus. Jika kita berhenti bertumbuh dan bahkan berproses mundur, maka kita sudah menjadi abnormal. Maukah kita menjadi orang Kristen yang normal, yang mau berproses untuk bertumbuh dalam kasih dan dibentuk di tangan Tuhan??

Read more